Jerat Cermin


Jerat Cermin
Jerat cermin


Aku berdiri di depan cermin besar. Tubuhku tidak tampak disana. Hanya seorang wanita cantik yang selalu membuatku iri. Aku menatap sinis wanita di balik cermin itu.

Ketika lenganku bergerak, ia selalu mengikuti apa yang kulakukan. Seperti saat ini, ketika aku tersenyum, ia membalas senyumanku. Kugenggamkan jari-jari tanganku dengan kuat. Aku mengepal ke arah cermin.

Wanita itu mengikuti apa yang kulakukan. Hanya tangannya lebih halus dan putih dari tanganku. Bahkan kuku-kuku indahnya berbanding terbalik dengan punyaku yang tajam dan hitam.

Rambutku yang terburai tidak teratur, berbeda sekali dengannya yang tertata rapi bahkan hitam tergerai indah. Aku tidak berani membandingkan tubuh dan wajahnya. Semua seperti langit dan bumi.

Aku yang keriput dengan cekungan mata besar dan hitam. Ditambah bola mata kemerahan dan hidung pesek. Berbeda sekali dengan kulit wajahnya yang halus. Mata sayu dengan bulu mata lentik, serta hidung mancungnya yang menggemaskan. Bibirnya yang tipis dan barisan gigi rapi nan menawan. Seakan menertawakanku yang bermulut sumbing dengan gigi tak beraturan serta sepasang taring di sudutnya.

“Sialan!” aku mengutuk diri sendiri.

Apa yang kulihat bukanlah diriku lagi. Aku kini jelek, dengan bentuk tubuh tak beraturan. Tidak yakin dimana jantungku hinggap. Bahkan sobekan di punggung membuat tulang rusukku menyeruak.

Kakiku bengkok dan pincang. Sebagian masih lengkap dengan tulang dan daging, sebagian lagi hanya tersisa tulangnya saja. Telapak kaki kananku hilang, kini kuganti dengan tongkat kayu yang mulai lapuk. Jangan berpikir tentang keindahan tubuhku saat ini. Sangat kontras dengan wanita yang berdiri tegak di balik cermin.

“Tidak lama lagi aku akan kembali.” Aku mendengus kencang.

Kusentuh cermin itu. Kedua tangan kami saling bertautan. Aku bisa melihat pundaknya yang halus. Ia memakai pakaian yang sudah pasti membuat laki-laki terjerat oleh tubuhnya. Bahkan hanya dengan kerlingan mata, tidak ada yang bisa menolak ajakan nakalnya.
Itulah yang tampak pada dirinya. Wanita idaman dan pujaan kaum laki-laki. Semua yang tampak padanya sangat sempurna untuk sekedar menjadi seorang wanita di bumi.

Ia adalah jelmaan bidadari dari langit. Itulah yang sering kudengar dari mulut-mulut kotor di tepi jalan. Aku tahu dia bukan wanita murahan seperti apa yang mereka pikirkan. Hanya saja, aku juga tidak bisa menampik, kalau dia telah berpredikat kotor. Bukan karena tingkah lakunya, namun sebuah jerat yang menimpa dirinya puluhan tahun silam.

Kini aku yang jelek dan tidak dianggap oleh siapapun, tetapi aku akan menjadi dirinya. Aku akan membalaskan setiap kebencian yang terpancar dari matanya. Aku juga dipenuhi dendam, sama seperti dirinya.
Aku kembali menyeringai. Kupandangi jemari hitam yang kini berdampingan dengan telapak halus miliknya di balik cermin. Aku ingin merasakan jemari lembut itu itu mengusap tubuhku. Sudah lama sekali sejak kejadian yang membuatku harus hidup di antara dua dunia.

“Aku ingin kembali cantik!”

Dia mengangguk untuk menunjukkan persetujuan terhadap apa yang akan kulakukan.

“Lakukan apa yang kamu inginkan! Kamu akan menjadi diriku. Menjadi Jehan, sang bidadari. Membuat iri para wanita karena laki-laki lebih memilihmu. Balaskan kebencian dan dendamku! Aku dan kamu adalah satu,” kata wanita itu dengan mata tajam.

Kami saling beradu. Aku bisa melihat garis yang menghubungkan tatapanku dengan bola mata indahnya.

Aku mengangguk dengan mantap. Sebuah persetujuan telah terjadi di antara kami.

“Kamu akan menjadi cantik kembali!”

Aku tidak peduli. Apapun yang terjadi, aku harus menjadi cantik dan akan kubuat semua laki-laki merasakan dendamku.

Aku menjulurkan lidah panjang yang basah dengan air liur. Kujilat tubuhnya dari balik cermin. Aku kembali mendengus. Tatapan mata penuh kebencian menyerangku. Aku tidak peduli dengan tingkahnya yang juga ikut bergerak seiring alur jilatan yang kubuat.

Dis tertawa terbahak. Sebuah gelas pecah akibat tawa kerasnya. Kuambil pecahan gelas itu. Kugoreskan tepat di pergelangan tangan secara perlahan. Tidak ada darah yang muncul disana. Hanya kulit terbuka penuh nanah yang terburai.

Aku tersenyum getir. Kulempar kembali pecahan itu dan kali ini menimpa cermin besar itu. Kuambil tongkat hitam di belakangku, lalu diayunkan ke arah cermin.

‘Prang,’ Suara pecah yang keras timbul akibat hantamanku.

Cermin itu pecah berkeping-keping. Jatuh ke lantai tanah. Kuambil serpihan paling besar. Kutatap wajah cantik itu yang diraut oleh goresan retak akibat hantamanku. Aku tersenyum, begitu juga dirinya.

Beberapa saat kemudian, tidak ada lagi wajah cantik di balik pecahan cermin. Hanya bayangan mengerikan yang penuh luka. Semua terselimut oleh darah yang menetes. Bahkan di balik matanya, aliran darah mengalir lembut seolah seperti ar mata. Namun lebih kental dan tidak bening.

“Akan kulakukan semuanya untukmu!”



Jo, kucing kesayanganku, terkejut dengan kehadiranku. Ia segera melompat kembali ke meja. Dengan kepala tegak, ia melihat aku yang duduk di samping Adi. Kubiarkan mata itu tak terpejam.

Aku mengusap lembut leher Adi. Tidak ada penolakan darinya, lebih tepat lagi ia telah pasrah oleh tingkahku. Kubuka jaket yang menutupi tubuhnya.

Aku mulai meraba dadanya yang masih berdetak.

“Kamu baik sekali! Bersedia menjadi milikku selamanya. Jangan khawatir, semuanya akan berjalan cepat. Tidak ada rasa sakit. Hanya ketenangan dan kenikmatan. Kamu pasti suka!” kataku lembut tepat di samping telinganya.

Tangan kananku segera bergerak dan meloncat lepas dari pergelangannya. Ia merayap di sekujur tubuh Adi dari kepala hingga kaki. Aku merasakan apa yang ada di dalam tubuh laki-laki ini.

Sesuai dengan keinginanku, semua berjalan lancar. Sejenak kupandangi wajah polos itu. Inikah wajah yang setiap saat bisa berubah. Dari polos tak berdosa menjadi siap memangsa.

“Aku tahu yang kamu inginkan. Namun keberuntungan tidak bersamamu. Saatnya aku menjadikan dirimu korban n*fsuku,”

Mendadak tubuh Adi bergetar. Tangan kiriku sudah ada di lehernya. Ibu jari menusuk dan darah segar mengalir di sela-sela kulit. Kubiarkan darah itu mengalir hingga membasahi dadanya. Terlihat segar.

Aku tahu malam akan segera usai, jadi semua kulakukan dengan cepat. Kudekatkan wajahku kelehernya. Tubuh Adi semakin bergetar hebat. Ia tidak berteriak ketika darah di tubuhnya semakin berkurang. Hingga ia terkulai lemas.

Matanya menutup perlahan. Dengan nikmat kuhirup wangi bekas gigitanku di lehernya. Semua berlangsung cepat. Kubersihkan sisa-sisa darah yang masih menempel di mulutku.
“Sekarang giliran kamu!” kataku kepada Jo.

Kucing itu melompat sigap dan melakukan apa yang baru saja dilihatnya dan melakukan persis seperti diriku.

Ada jemari yang menggelitik tengkukku. Aku segera menangkap jemari itu dan menyatukan lagi di tangan kanan. Sesuatu berada di genggaman tangan kananku. Aku mengerutkan dahi. Sangat berbeda. Mungkin Adi ini masih polos sehingga tidak seperti laki-laki lain.

“Sepertinya lebih lezat!” Aku berdecak dan menelan ludah.
“Biar kusimpan buat besok malam. Sekarang lebih baik tidur. Cukup untuk hari ini! Ayo Jo! Besok diteruskan lagi,” aku berseru kepada Jo yang masih asyik dengan Adi.
Jo melompat ke pangkuanku. Aku segera menggendongnya.



“Jadi siapa tadi namamu, aku lupa?” tanya Gio. Ia merasa pernah mengenalnya tapi kapan dan dimana. Ia tidak ingat apakah benar mengenalnya atau hanya sekedar khayalan saja.

“Namaku Jehan Saraswati. Panggil saja Jehan!” kata wanita itu.

Gio tidak menampik kecantikan Jehan. Sungguh sempurna. Bahkan lebih dari sekadar bidadari. Perlahan ia mendekatkan duduknya agar bisa mencium aroma parfum khas yang keluar dari tubuh Jehan.

“Kamu berlibur disini? Yang jelas kamu bukan rombongan dari kampus kami. Karena aku baru pertama kali melihatmu,” ucap Gio dengan nada meyakinkan.

Jehan tersenyum. Ia terbiasa oleh tingkah laki-laki ketika berhadapan dengannya.

“Aku menginap disana, itu milik pamanku,” kata Jehan sambil menunjuk sebuah bangunan di atas bukit kecil.

Gio terperajat ketika mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Jehan. Ia tidak melihat apapun sedari kemarin di bukit sana. Dan kini tiba-tiba sebuah vila megah berdiri di atas bukit itu.

“Aneh kenapa aku gak liat, ada vila disana. Kemarin sempat jalan-jalan lewat bukit itu,” desah Gio.

Namun pikiran itu segera disingkirkannya. Ia merasa mungkin penglihatannya terganggu atau ia kurang teliti memperhatikan sekitar.

“Kamu sendiri disana?” tanyanya lagi kepada Jehan.

Udara dingin pegunungan menambah sesuatu yang lain dipikiran Gio. Ia sadar wanita secantik Jehan akan menjadi rebutan laki-laki dimanapun dia berada. Tetapi tidak untuk sekarang, hanya ada Gio seorang. Jadi sebuah kesempatan terpampang di depan mata.

“Ya, aku sendiri! Ayahku pulang pagi ini karena urusan kantor. Sedangkan liburanku masih panjang, jadi aku menikmati kesendirian disana,” jawab Jehan sambil tersenyum lebar.

“Oh begitu!” Gio menanggapi ucapan itu dengan penuh maksud.

“Eh udah dulu ya! Aku harus kembali! Gak enak ditinggal lama-lama!” sergah Jehan membuyarkan lamunan sejenak Gio yang belum tuntas.

“Silahkan, senang bisa berkenalan denganmu!” sahut Gio dengan senyuman lebar.

Jehan segera meninggalkan Gio yang masih terpaku oleh langkah kaki wanita itu. Pandangan matanya mengekor setiap tubuh Jehan yang semakin menjauh. Ia terus melihatnya hingga di ujung jalan tepat di samping vilanya.

Tidak ada yang aneh disana, hingga sebuah angin tiba-tiba mendesak tubuh Gio untuk berlindung. Gio segera berdiri di balik pohon besar. Angin itu terus berhembus dan semakin besar. Dahan dan daun-daun pohon itu beterbangan.

Gio membungkukkan badan. Ia berpindah di sisi lain pohon agar tidak terkena secara langsung terpaan angin itu.

“Auw,” teriaknya ketika sebuah ranting besar menimpa punggungnya.

Angin itu telah berlalu. Gio melihat sekeliling. Matanya terperajat dan seolah tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi.

Tidak ada bekas ranting maupun daun yang jatuh tertimpa angin. Bahkan pohon tempat dirinya berlindung, ternyata lebih kecil dari perkiraannya. Pohon itu tidak mampu menutupi tubuhnya jika terjadi angin kencang.

Gio mengedarkan pandangan matanya. Ia masih mengenal jalan tempat vila dimana rombongannya menginap. Namun ada yang aneh. Dimana vila megah di bukit itu? Ia tidak melihatnya lagi. Tidak ada vila yang baru saja ditunjuk oleh wanita bernama Jehan.

Gio menatap kosong bukit itu. Matanya tidak salah. Masih seperti ketika ia pertama kali tiba kemarin. Tidak ada bangunan apapun disana.

“Jehan,” mulutnya tergerak menyebut nama itu.



Aku tersenyum melihat laki-laki yang bernama Gio. Di atas sebuah pohon aku bisa melihat dia dengan jelas. Aku tertarik olehnya. Namun Adi yang baru saja menjadi korbanku sudah sangat berlebih.

“Lebih baik aku tidak mengganggunya dulu!”

Kuhembuskan sebuah angin besar yang keluar menerpa tubuh Gio. Terpaannya cukup untuk menggoyahkan tubuh laki-laki itu. Aku melihat dia berlindung di bawahku.

Dia tidak menyadari kehadiranku. Aku hanya tersenyum. Sungguh lucu memandang tingkahnya yang sedang membungkuk seolah angin itu ingin menghamburkan tubuhnya.
Kuambil sebatang dahan yang lumayan besar lalu kujatuhkan tepat di punggungnya. Dia terkejut dan menatap ke atas pohon. Aku tersenyum dan membalas tatapannya. Mungkin dia tidak melihatku di atas sini.

Kutinggalkan Gio yang masih penasaran oleh kejadian angin yang baru saja menimpanya. Aku menatap ke vila di bukit itu. Sudah lama tidak berkunjung kesana. Berbeda dengan vilaku yang lusuh dan kotor. Vila itu sangat rapi dan bersih. Pamanku memang merawat vila itu dengan baik.

“Terimakasih Gio!” Aku berkata lembut di telinganya sebelum pergi menjauh.
Kujatuhkan sepucuk kertas untuk memberitahu keberadaan temannya, Adi.



Semua panik dan cemas oleh penemuan mayat Adi di sebuah gubuk tua. Gio hanya tertegun, tangannya meremas gemetar kertas yang telah mempertemukan sahabatnya dalam kondisi tak bernyawa.

Polisi yang menyusuri tepat itu tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Namun kematian Adi serasa aneh. Tubuhnya masih utuh padahal telah seminggu dia menghilang dan tidak ada bekas luka apapun.

Semua tampak wajar dari luar, namun tidak dengan bagian organ dalam tubuhnya. Jantung Adi tidak berada di tempatnya. Seolah ia hanya robot berbentuk manusia. Tidak ada darah yang membeku. Semua kosong.

Gio semakin takut oleh peristiwa ini. Dua hari yang lalu tanpa sengaja dia melihat wanita yang mirip Jehan. Tepat di dalam rombongannya sebelum beranjak meninggalkan daerah ini.
Ia membaca isi kertas itu untuk ketiga kalinya.

“Lima puluh meter sebelum tikungan dari vilamu, ada sebuah gubuk tua. Sahabatmu ada disana. Aku tidak janji, dia masih bisa tersenyum. Sebaiknya kamu segera kesana, sebelum terlambat.
Dan jangan lupa, kalau aku selalu melihatmu. Tersenyumlah ketika aku menemuimu. Aku kesepian, mungkin aku akan membawamu ke vila megah yang pernah kutunjukkan padamu. Tentu saja, tidak sekarang. Karena aku masih menikmati darah dan jantung segar dari sahabatmu.”

Tangan Gio bergetar hebat. Kertas itu jatuh terinjak oleh kerumunan orang yang mengerubuti penemuan mayat sahabatnya. Ia sadar mengapa jantung Adi tidak berada di tempat semestinya.

Cerpen Karangan: Ken Surya











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filem horor siccin 1

Wujud Hantu Air dan Asal Usulnya

Mitos cermin