INDRA KEENAM
Ada perempuan yang tengah jogging. Ada muda-mudi bersepeda. Ada Ibu muda yang menyirami tanaman. Ada perempuan yang berjalan mondar-mandir di dalam rumah. Ada seorang nenek tua dan anjingnya. Ada establish langit malam hari yang diulang-ulang.
Dan adMerry dan anaknya, Dina, pindah ke rumah baru. Rumah baru itu berhantu, tentu saja. Kalau rumah itu biasa saja dan sosok setan di film ini dihilangkan, maka penonton hanya akan menyaksikan perempuan yang tengah jogging, muda-mudi bersepeda, Ibu muda yang menyirami tanaman, perempuan yang berjalan mondar-mandir di dalam rumah, seorang nenek tua dan anjingnya dan establish langit malam hari yang diulang-ulang. Maka film ini hampir tidak ada bedanya dengan vlog-vlog tidak jelas di Youtube.
Namun meskipun sudah tahu rumah itu berhantu dan sempat diganggu oleh dua penampakan setan berambut panjang, Merry dan Dina tetap bertahan untuk tinggal di rumah itu.
“Tidak ada yang bisa menyakiti anakku!”
Lantang Merry menyerukan hal itu kepada dua setan yang mengganggu mereka. Merry sudah membulatkan tekad untuk tetap tinggal di rumah berhantu itu. Kita harus menghargai keputusannya.
Beberapa tahun berlalu. Dina sudah dewasa. Merry menjadi MILF. Dina menjadi wanita yang cantik, namun Merry jauh lebih cantik. Maaf, Din.
Setelah bangun tidur, menuangkan teh ke dalam cangkir, mengagumi pemandangan, Dina menemui Merry yang tengah menyirami tanaman. Mereka mengobrol sebentar. Bukan, ini bukan vlog.
Dina kemudian memasuki gudang. Ia menemukan sebuah buku tua yang lusuh dan penuh debu. Merry berteriak panik, melarang Dina menyentuh buku itu.
Setelah sekian tahun, kenapa Dina baru memasuki gudang tersebut sekarang? Kenapa Dina baru menemukan buku tersebut?
Inilah permasalahan film Indera Keenam. Tidak pernah ada sebab-akibat yang cukup jelas. Tidak pernah ada kejelasan background karakter atau kejelasan motivasi tiap tokoh di filmnya. Kita tidak pernah tahu apa pekerjaan Merry untuk menghidupi keluarganya, atau apa kesibukan Dina ketika ia sudah dewasa. Apakah Dina baru lulus SMA? Atau sudah kuliah? Atau baru lulus kuliah dan menganggur?
Yang penonton lihat hanyalah Merry dan Dina yang mondar-mandir dan diganggu sosok setan tua galak.
Permasalahan lain film Indera Keenam ialah cara bertuturnya yang berantakan. Satu adegan ke adegan lain berpindah seenaknya tak tentu arah, centang-perenang dan porak-poranda. Segala hal terjadi seolah secara tiba-tiba.
Dina bertemu dengan seorang pemuda bernama Alex. Mereka berkenalan. Tiba-tiba esoknya mereka berpacaran.
Merry tiba-tiba sudah berada di hutan dan mendekati sesosok anak kecil yang meringkuk di bawah pohon.
Merry dan Dina tiba-tiba bertengkar karena Dina pulang ke rumah larut malam.
Dina mencari Merry yang mendadak hilang. Tiba-tiba adegan berpindah ke Alex yang tampak panik dan masuk ke dalam mobil, sesekali memeriksa HP dan memukuli setir kemudi. Tidak ada kejelasan kenapa Alex bersikap seperti itu bahkan hingga film berakhir.
Cara bercerita yang kacau macam ini mengingatkan saya dengan film Dia Pasti Datang garapan Steady Rimba. Namun tentu saja, Dia Pasti Datang jauh lebih menghibur. Setidaknya saya bisa melihat sekelompok perempuan berpakaian seksi di pemakaman atau setan yang berubah menjadi teko.
Di film Indera Keenam, tidak ada perempuan-perempuan yang berkeliling dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam seperti di film Dia Pasti Datang, tapi saya harus menyaksikan Ibu dan anaknya melakukan kegiatan sehari-hari di dalam rumah, berbicara dengan bahasa yang sangat baku atau terkadang dengan bahasa Inggris, muda-mudi yang dimabuk asmara, dan sesekali menghadapi amukan setan tua yang galak. Sekali lagi, ini bukan vlog. Ini film horror.
Beberapa kali saya sempat berpikir bahwa jangan-jangan para filmmaker di balik film ini sebenarnya tidak cukup tahu apa yang hendak mereka sampaikan lewat filmnya, kecuali pesan moral untuk menyayangi Ibu kita sebelum terlambat.
Jika memang pesan film ini adalah untuk selalu menyayangi Ibu kita, maka hal ini mengingatkan saya dengan acara muhasabah yang diadakan di SMP saya dulu. Seorang ustad dipanggil ke sekolah dan seluruh siswa-siswi dikumpulkan di sebuah ruangan. Kemudian ustad tersebut berteriak: “Bayangkan… Jika suatu hari kalian pulang dari sekolah… kalian mendapati Ibu kalian sudah tidak ada… Kalian kemudian menyesal karena telah menyia-nyiakan kebaikan Ibu kalian…”
Siswa-siswi di dalam ruangan kemudian menangis berjamaah.
Muhasabah tampaknya menjadi media yang cukup ampuh untuk mengingatkan kita agar selalu menyayangi Ibu. Namun jika pesan tersebut disampaikan lewat film horror yang sembrono dari segi directing dan editing, maka saya kurang yakin pesan itu dapat disampaikan dengan baik kepada penontonnya.
Namun saya percaya bahwa departemen kamera dan colorist film ini yang tahu betul dengan pekerjaan mereka. Visual film ini cantik sekali. Warnanya enak dipandang. Gambar grainy di sepanjang film membuat saya semakin menikmati visualnya. Beberapa shot juga terlihat ciamik. Saya suka.
Kelebihan lain film ini adalah akting Natasha Gott sebagai Dina. Penampilannya cukup prima sebagai pemain baru. Meskipun beberapa kali ia tampak awkward karena harus mengucapkan dialog-dialog yang kaku, namun secara keseluruhan aktingnya cukup mengesankan. Saya paling suka adegan Dina yang tanpa sengaja membenturkan kepalanya di batang pohon.
Komentar
Posting Komentar